Assalamu'alaykum

Sibuk sekali aku. Hampir seharian perhatianku tak lepas dari memperhatikan lelaki itu. Memang tugasku adalah memperhatikan, bersama satu kawanku. Tugasku dan kawanku laksana sepasang detektif, bahkan boleh dibilang tugas kami lebih berat dari tugas detektif swasta yang disewa oleh kliennya. Kami bertugas dengan profesionalitas ajeg, hanya mengumpulkan data dari keseharian lelaki itu, tanpa intervensi subjektif. Tapi, kawanku tidak terlalu sibuk di hari ini.

Waktu bertugas kami sudah dimulai saat lelaki itu membuka matanya hingga ia kembali tidur dan menutup mata. Jadi, jam kerja kami tidaklah menentu dalam seharinya. Adakalanya kami berdua begitu sibuk mendata dan mencatat semua kegiatan lelaki itu. Jadi, selain jam kerja kami yang tidak menentu, kesibukan kami berdua juga tergantung dari apa-apa hal kegiatan lelaki yang selalu kami perhatikan itu.

Karena hari ini hari Minggu, kegiatan lelaki itu tidaklah sesibuk hari-hari lainnya saat ia bekerja di luar rumah. Dari semenjak ia membuka matanya, aku sudah menajamkan pandangan dan pendengaranku untuk mencari tahu apa saja yang sudah dilakukannya, bahkan apa saja yang sudah terbetik di hatinya.
Sambil ia memandikan anak perempuannya yang sudah mulai pandai bicara, aku melihat air kesabaran juga ketabahan terpancar dari wajahnya. Begitu teliti ia memandikan anak perempuan kesayangan satu-satunya ini. Meski lelaki itu memiliki seorang pembantu perempuan paruh baya yang biasa dipanggilnya
“si Mbah”, yang biasanya memandikan anaknya, mengurus dan merawat anaknya ketika ia keluar mencari nafkah.

Si Mbah sudah menyediakan makanan sarapan di meja ruang makan sementara lelaki itu selesai memandikan anaknya lalu membawa anaknya ke kamar untuk dipakaikannya baju dan wewangian, sebab mereka berdua berencana untuk mengunjungi satu tempat. Baru saja aku mengetahuinya mereka berdua hendak ke mana, sebab pandangan dan pendengaran kami tak sedetik pun lepas memperhatikannya.

“Mbah, ayo kita makan.” Lelaki itu berkata setelah ia dan anaknya sudah siap dan duduk di kursi makan.

“Ya, Gan.” Si Mbah menjawab panggilan tuannya sambil melangkah ke ruang makan lalu ikut duduk bersama mereka di meja makan.

Sudah berulang kali lelaki itu menyarankan kepada si Mbah untuk tidak memanggilnya “Gan” ‘juragan’ dan ikut makan bersama satu meja dengannya. Tapi rupanya si Mbah tetap bersikukuh tak mau, hanya sarannya tentang makan bersama saja yang dituruti si Mbah. Alasannya sederhana, si Mbah menghormati dan menghargainya, sebab lelaki itu adalah majikannya yang mengupah pekerjaannya sebagai pembantu. Akhirnya, lelaki itu –cukup hatinya yang tahu– membiarkan si Mbah tetap memanggilnya “Gan”, hanya saja ia mengubah makna dari kata “Gan” ‘juragan’, menjadi—“Nak” ‘anak’. Alasan lelaki itu –berketetapan hati soal panggilan– juga sederhana, menghargai dan menghormati perempuan paruh baya itu, yang sudah lama bekerja dengannya. Dan aku sudah mendata dan mencatatnya ketika peristiwa itu terjadi.

Selesai mereka makan, si Mbah merapikan meja makan dan membawa semua wadah kotor seperti piring, mangkok dan gelas ke dapur sambil melanjutkan pekerjaan rutinnya. Sementara, lelaki itu dan anaknya menuju ruang TV. Dituntunnya sang anak dengan senyum ringan menghias di wajahnya. Aku tak melepas pandanganku darinya karena itu memang tugasku juga kawanku. Sang anak terdengar juga suara tertawanya yang lucu kala ayahnya mengajaknya berlari-lari kecil ditengah langkah-langkah mereka berdua menuju ruang TV. Untuk itu semua, aku juga sudah mendata dan mencatatnya pula.

Di ruang TV, sang anak meminta dengan ucapan ‘patah-patahnya’ kepada ayahnya untuk menonton film kartun mingguan favoritnya. Ucapan yang terdengar lucu dari mulut sang anak di pagi tiga hari jelang Ramadan ini, membuat lelaki itu tersenyum di garis-garis wajahnya yang juga haru terlihat. Aku memperhatikan dan semakin menajamkan pandanganku untuk melihat apa yang akan terjadi selanjutnya. Jeda kemudian, lelaki itu menekan tombol remote TV dan memilih channel favorit sang anak. Tak perlu waktu lama untuk film kartun itu membuat sang anak tertawa terkekeh-kekeh. Dan suara tawa anak kesayangannya itu sedikit menjadi penawar haru lelaki itu.

Kini, ekspresi wajah lelaki itu datar sambil ia membuka aplikasi browser di handphone-nya, mencari berita-berita aktual di hari Minggu ini, tiga hari jelang Ramadan.

Lintasan terik matahari sudah bergeser beberapa derajat dari tegaknya saat lelaki itu dan anaknya menyusuri jalan arteri dengan kendaraan. Ramai lalu-lalang kendaraan, baik yang searah juga berbeda arah dengan kendaraannya. Kali ini, pendengaran kami yang kami tajamkan sesuai tugas kami memperhatikan apa yang hendak dilakukan lelaki itu dalam detik-detik waktu berikutnya. Selama perjalanan mendekati tujuannya. Beberapa kali lelaki itu menarik hela nafas agak panjang. Ketajaman pendengaran dan pandangan kami peruncing untuk mencari lamat-lamat apa betik hatinya dan ekspresi wajahnya dalam ia berkeadaan seperti itu. Sepertinya lelaki itu menahan suatu kesedihan yang masih bersemayam dan belum jua pergi dari hatinya. Sekali ia menekan klaksonnya berulang-ulang saat traffic light sudah berwarna hijau sementara kendaraan di depannya seperti melamun, tak juga bergerak. Kali ini, kulihat kawanku sudah bersiap mencatat dan mendata, namun diurungkannya.

Lelaki itu kembali menghidupkan mesin kendaraannya dan mengikuti arus jalan arteri setelah membeli apa yang dibutuhkan olehnya saat tiba ditujuannya. Tak lepas pandangan dan pendengaran kami setelah kendaraan lelaki itu semakin mendekati tujuannya. Mengapa? Sebab “cuaca” di wajahnya begitu beragam warna tak sedap dipandang, juga hatinya, isinya semakin berdetak lebih cepat, kadang beraturan, terkadang tidak. Jeli dan fokus kami terus memperhatikan dan menunggu apa yang akan terjadi dan dilakukan lelaki itu selanjutnya.

Mobilnya sudah terparkir dengan bantuan juru parkir yang memang beberapa hari jelang Ramadan ini mendapat rezeki berlebih karena kata “Ramadan”— meski masih menjelang. Lalu lelaki itu dan sang anak yang di gendongnya berjalan masuk ke tempat tujuan bersama dengan langkah-langkah “rindu tahunan”  kaki para peziarah yang mengunjungi kerabat, anggota keluarga mereka yang sudah lebih dahulu wafat dan dimakamkan di tempat pemakaman itu. Sedari tadi pagi –saat lelaki itu selesai memakaikan untuk anaknya pakaian terbaik dan wewangian di kamarnya– aku sudah mengetahui tempat yang ditujunya ini

Assalamu’alaykum.” Bibir lelaki itu bergumam disambung hatinya berkata, “Cipta Ramadani, anakku.” Sambil kedua lututnya menempel ke tanah seraya badannya menghadap pusara yang bertuliskan: Inna lillahi wa inna ilaihi rooji’un. Nama: Cipta Ramadani; Wafat: 1 Ramadan 1430 H.

Sang anak diturunkannya dari gendongannya. Dan ia mengajak anaknya yang sudah mulai pandai bicara untuk sama mengucapkan salam kepada kakak kembarnya.

“A,a,acalamungalangikum, Tata Tipta[1].” Sang anak pun menirukan ucapan lelaki itu dan berkata—lagi, “A,acalamungalangikum, Yunda Tinta[2].” Sambil mengalihkan wajah dan pandangannya kepada pusara ibundanya yang wafat dan meraih syahid-nya –insya Allah– saat melahirkan Cinta Ramadani dan (almarhumah) Cipta Ramadani.

Dan lelaki itu pun lalu memintal rindu-rindunya laksana sehelai kain doa tulus berumbai-rumbai sedikit bulir-bulir mata air mata haru rindu di tiap ujung-ujung kainnya.

Inilah waktu tersibuk aku di hari ini saat mencatat betik hati dan perbuatan lelaki itu. Sekerlingan di sebelah kiri, aku melihat kawanku diam lalu menengok kepadaku sambil mengangkat kedua bahunya, dan kembali memperhatikan lekat-lekat lelaki itu.


Catatan:
1. Cipta Ramadani
2. Ibunda Cipta Ramadani dan Cinta Ramadani


#RinduRamadan

Comments

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan berikut berkomentarnya kamu.

Pos Populer