Tersakiti atau Disakiti adalah Bukan Pilihan

Kau
Kau???

Hadeuh ... tidak biasanya begitu cepat saya lari ke depan keyboard seperti pagi ini. Seolah-olah takut "tangkapan" ide bakal lepas dari pikiran saya. Hahaha. Ya topiknya sih masih seputaran menulis dan menulis. Hanya mungkin ini artikel –karena baru kali ini– tercepat yang saya tulis, sebab tidak menunggu nanti, dituliskan saat waktu luang datang.
Pemicu artikel ini saat Google Plus saya di add oleh Ivan Wiraoctavian. Saya kunjungi situsnya dan membaca artikel ini: 

Cerita Gus Dur dan Mata Allah

Untuk mendukung apa yang ingin saya utarakan, saya kutip saja sebagian isi artikel mas Ivan itu:


..............
Gus Dur : “Kamu suka menulis?”

Mughni : “Tidak, Gus, tulisan saya buruk sekali. Saya coba menulis puisi atau cerita pendek, tapi benar-benar buruk hasilnya.”

Gus Dur : “Rupanya kamu belum pernah dilukai seorang wanita, makanya tulisan kamu tidak bagus.”

Mughni : “Lha, Panjenengan tau darimana kalau saya belum pernah dilukai wanita?”

Gus Dur : “Ya itu tadi, karya sastramu buruk sekali.”

Mughni : “Hmmmmm ...”

Air Mata
Aaairrr Mata

Terus terang, saya tertegun sejenak beberapa jeda dan reflek mulut saya mengucap,  "K*pr*t!" sambil lalu saya tersenyum sendiri, tertawa kecil tersindir bagai orang yang terbuka satu rahasia yang disimpannya. Hati kecil saya bergumam lirih, "Gus Dus (Alm) benar!" Benar soal tersakiti, dilukai oleh seorang wanita. Ya. Dari sejak S.D kelas 6 saya sudah pernah merasakan "demam kecil" –Monyet demam(?)–. Hingga sampai perjalanan waktu menuju akhir saya ini, tidak lepas –sering– mengalami "demam" ini. Saya jadi bertanya sendiri, "Mungkin ini sebabnya."

Ingatan saya berlari menghampiri kenangan dan bertemu dengan kenangan dua, tiga,mmm ... bukan, empat, (ah kok begitu banyak ternyata) tingkah kawan akrab saya yang juga sama –pernah– memiliki rasa tersakiti dan membuatnya menjadi orang yang lihai dalam mengolah kata. Melalui mereka sebuah momen bisa menjadi lirik, bisa menjadi syair, bisa menjadi sesuatu yang berbentuk kata, kalimat yang berbeda. Untungnya, ternyata saya tidak sendiri. 

Berikut ini mungkin opini  saya bersifat subyektif. Dari semua kawan sesama penderita "demam" itu, bisa Saya bilang 90%-nya, egois. Bahkan satu kawan saya, selain egois, juga pendiam 'introvert' seolah memilki dunia selain dunia tempat di mana ia tinggal. Mengapa bisa begitu?

Namun begitu, tidak genap apa kutipan perbincangan diatas benar seluruhnya. Tidak selalu bagusnya karya sastra seseorang dipicu dari tersakiti dahulu oleh wanita atau sebaliknya. Ada terdapat faktor selain sebab tersakiti yang menjadikan karya sastra seseorang itu bagus. Tapi, faktor pernah tersakiti ini cukup masuk akal. Sebab rasa sakit ini ada namun tidak terlihat, hanya bisa dirasakan. Dan kemampuan "mengurai", "memintal" rasa sakit itu –menjadi kata, kalimat– hingga menjadi satu "kain", dan dapat "dilihat" bahkan kembali dirasakan oleh orang lain yang membacanya, itu adalah satu hal istimewa (menurut saya pribadi).

....................

Gus Dur :
“Rupanya kamu belum pernah dilukai seorang wanita, makanya tulisan kamu tidak bagus.”


Banyak lelaki pernah terluka oleh wanita.
Begitu pula sebaliknya.
Bukan pada kuantitas.
Bukan pula pada kualitas.

Tersakiti atau disakiti adalah bukan pilihan.
Itu hanyalah dua kondisi dalam setiap tapak langkah kehidupan.
Orang bijak merenungkan dua kondisi ini...dan lalu tersenyum menggenggam cahaya.
Orang terbajak mengumpat dalam sisa langkahnya dan terjerembap...lalu mati.

Comments

Pos Populer