Ayu Mau, kan, Jadi Pacar Aku? Mau, Ya?

Ini satu “puzzle” kisah gue lagi yang gue rangkum dalam susunan huruf menjadi makna-makna. Dari kisah ini, semoga pembaca bisa mengambil pelajaran berharga –kalau ada–, nantinya.

Gue dan dua orang teman gue (sebut saja Aliando ‘Cungkring’ dan Dude ‘Nino’), ibarat pinang dibelah tiga, cuma gue kebagian menjadi potongan yang paling kecil sehingga selalu kelihatan macam orang yang hokinya kurang. Bahkan, sampai urusan bersaing untuk mendapatkan hati perempuan idaman, gue selalu di belakang, ketinggalan jauh sama teknik mereka berdua. Meski begitu, sebagai kawan akrab, untuk urusan mendapatkan hati perempuan nggak bikin keakraban kita jadi renggang.

Gue yang sempat merantau di Surabaya ‘ketimuran’, sedang Cungkring yang Tegal ngapak, juga Nino yang Brebes ngapak, banyak mengajarkan filosofi-filosofi hidup “ngapak” ‘ketengahan’ kepada gue. Sedangkan, gue sendiri sebenarnya ‘kebaratan’ yang sempat ‘ketimuran’ dan akhirnya mendapat polesan ‘ketengahan’ dari mereka berdua. Satu contoh filosofinya: “Tulung”. Kurang jelas? Cungkring dan Nino, sebagai perantauan, teguh memegang prinsip ini. “Tulungi inyonglah, No, silihi duwit. Ngko bar gajian inyong genti lah, yaqiin.” Jika sudah Cungkring ngomong begitu ke Nino, seberapa pun uang yang ada di dompetnya pasti berpindah tangan.

Prinsip “Tulung” mereka ini juga diterapkan dalam urusan mendapatkan hati ‘simpati’ perempuan. Nino yang saat itu sudah berhasil menggebet gadis Sukabumi, membantu Cungkring yang sedang naksir seorang gadis mungil imut berwajah ayu, “gampangan” GR ‘gede rasa’ juga “gampangan” latah kalo ngomong.

“Cuy, tulungi yak,” kata Cungkring. Saat kita sedang nonton bola di TV bertiga di kosan Cungkring.

“Tulungi apa?” tanya Nino. Santai, sambil nggak lepas matanya melihat pertandingan bola di TV.

“Inyong naksir karo Ayu, rika bantu susun siasat ben nyong sukses ‘jadian’ karo Ayu, yak.”

Gue mendengar omongan mereka berdua. Sebenarnya, hati kecil gue juga bilang, “Sepertinya gue tertarik sama Ayu.” Tapi, gue yang punya level ke-malu-an di atas rata-rata, akhirnya cuma bisa memendam perasaan gue. Semoga nggak tumbuh jadi jerawat atau bisul itu perasaan gue.

“Oqelah qalo begetto.” Nino bersedia membantu Cungkring mewujudkan impiannya.

“Kie Ndri, iki sing jenenge konco reket.” Muka Cungkring nyengenges ke gue sambil telapak tangannya melambai menunjuk Nino yang mau membantunya. Sementara, gue cuma mengangguk-anggukan kepala macam rapper yang nge-rap sementara liriknya gue cuma bisa sebut dalam hati. “Pret-kepret-kep-pret.” (sebanyak gue mampu).

Lewat waktu sebulan, mereka berdua menjalankan strategi untuk membantu Cungkring.

Dan, seperti biasa, di malam Minggu, kita hangouts ‘nongkrong’ ala rantau-ers. Di mana? Di ujung gang keluar kos-kosan Nino. Gelar tikar, kopi hitam panas satu teko kecil berikut kacang berbungkus-bungkus, menemani kita berbicara ngobrol ngalor-ngidul, mengiri-menganan, menghabiskan waktu malam Minggu kali ini. Bodi aduhai gitar bolong duduk di pangkuan gue. Jemari nada ‘senar gitar’ di lengan gitar itu gue cengkeram erat tapi mesra, penuh perasaan, saat gue dan dua teman gue menyanyikan lagu-lagu cinta galau.

Di tengah waktu hangouts itu, akhirnya gue iseng nanya ke Nino, “No, gimane perkembangan strategi lu buat nulungin Cungkring?” Nino bukannya menjawab pertanyaan gue, tapi malah ngakak ketawa panjang membahana di tengah malam Minggu itu. Terus, mata Nino melirik muka Cungkring yang tiba-tiba berubah jadi wajah “putri malu” akibat mendengar pertanyaan gue. Dan Nino malah ketawa ngakak lagi, bahkan bibirnya ke-nyonyo bara dari batang rokoknya yang dia hisap terbalik, akibat serius ngakak, lupa konsentrasi menghisap rokok. Gue dan Cungkring gantian ketawa ngakak melihat tingkah blo’on Nino.

“Cuy, sstt, gue yang cerita, apa lu yang cerita, nih?” tanya Nino ke Cungkring, setelah ngakaknya reda. Hanya sisa senyam-senyum kecil di bibirnya yang ke-nyonyo sambil melihat muka Cungkring, mencari kepastian.

“Udahlah, gue aja yang cerita. Lagian juga emang itu yang ngalamin kan gue bukan lu, No.” jawab Cungkring.

“Nggak kok, Ndri. Si Cungkring berhasil ‘jadian’ sama Ayu. Tapi—” kata Nino terlanjur bicara.

“Woi, No. Kan gue barusan bilang, g-u-e yang jelasin! Udah, lu diem aja.” kata Cungkring motong omongan Nino, “jadi gini Ndri ceritanya …” Cungkring akhirnya mulai menjelaskan cerita perjuangannya selama sebulan kemarin untuk ‘jadian’ sama Ayu.
Cungkring melanjutkan omongan, “Rencana gue dan Nino udah sembilan puluh sembilan koma sembilan persen sukses.”

“Lha, yang sisa nol koma satu persennya?” tanya gue penasaran.
Muka Nino udah mulai berubah mau ketawa ngakak lagi.

“Yaa, itu kesalahannya bukan di gue. Jadi, kan gue nembak ‘ngomong deklarasi: gue suka kamu, lu mau jadi bokin gue’ Ayu di Twenty One. Sukses! Berhasil gue dapat jawaban memuaskan dari Ayu. Seneng dong hati gue pas waktu itu.” Cungkring bercerita menjelaskan dengan gaya pede ‘percaya diri’.

“Tapiii …—“ kata Nino, mukanya masih nahan ketawa, nunggu momen yang pas. Sementara gue masih belum paham ujung penjelasan Cungkring.

“Berisik lu!” seru Cungkring.

“Jadi, kesalahannya yang lu tanya tadi itu ada di Ayu.”

“Kok bisa?”

“Ya, bisa-lah. Salahnya Ayu itu, hati sama mulutnya kagak sinkron, Ndriiiii.”

“Maksudnya?”

“Besoknya, Ayu minta ketemuan sama gue. Dia minta maaf sama gue.”

“?????????”

“Dia minta maaf atas ketidaksinkronan mulut dan hatinya. Maksud dia, pas gue ‘nembak’ sehari sebelumnya, dia itu mau ngomong: Saya pikir dulu ya, Mas. Cuma gara-gara latahnya akibat kaget denger ucapan gue yang 'nembak' dia, dia jawab spontan: Ya, mau.”

“Emang lu ngomong ‘nembaknya’ gimane?”

“Ayu, aku suka dan aku naksir kamu. Ayu mau kan jadi pacar aku. Mau, ya?” Cungkring berkata persis sama nada saat diucapkannya kalimat itu di telinga Ayu.

Nino nggak tahan nahan ngakak ketawanya, akhirnya ngakak juga. Cepat gue tanggap dari semua penjelasan Cungkring barusan, gue pun ikut-ikutan ngakak dan ngakak dan ngakaaaak di tengah malam Minggu itu.

Ayu yang latah, akibat kaget mendengar ucapan “nembak” Cungkring, menjawab spontan dengan latah, ujung, dan hanya ujung pertanyaan Cungkring: … Mau, ya. Nggak pake mikir!
Cungkring cuma bisa nyengenges melihat tingkah ngakak kita berdua.

“Lha, pas Ayu minta maaf ke lu, dia ngomong apa, Kring?” tanya gue di tengah-tengah ngakak gue berdua sama Nino.

“Ya, lu tahu-lah! Masa’ gue mesti jelasin lagi sama lu, Ndri. Kepret lu!” Cungkring ngomong dengan nada “emosi ala kawan akrab”, “sini tu gitar! Gantian gue yang nge-gitar nyanyiin lagu-lagu cinta galau.” Cungkring ngerebut bodi gitar aduhai dari pangkuan gue dan mulai menyanyikan lagu Indah-nya Padi.

Comments

Pos Populer