Antara Aji, Cahaya dan Joko (Bagian Pertama)



Antara Aji, Cahaya dan Joko
Mukadimah
Cahaya Diani, seorang perempuan yang menjadi impian setiap lelaki, mandiri, cerdas, kritis, berbicara seperlunya dan cenderung pendiam. Meski cenderung pendiam, senyumnya selalu menghiasi wajahnya setiap kali bertemu orang di lingkungan perumahan sederhana di mana dia tinggal. Didikan orangtua dan didikan formal yang didapatnya, menjadikan dia, perempuan yang cukup berhasil mengelola usahanya, –toko merchandise yang dipasarkannya dengan cara online juga offline– dan toko offline-nya terletak di ruko dekat pintu gerbang masuk perumahannya.
Lelaki beruntung yang impiannya dapat terwujud –sebab menjadi "raja" di hati Cahaya Diani– adalah Rayhan Aji, seorang lelaki sederhana dalam penampilan. Dia bekerjasama –dalam mengelola toko Cahaya Diani– bersama istrinya, Cahaya Diani. Kesederhanaan Rayhan Aji, sifat tenangnya, dewasa dengan kelelakiannya, selalu menjadikan Cahaya Diani merasa nyaman dan terjaga sebagai seorang istri. Mereka berdua adalah pasangan –suami-istri– yang saling mencintai, berbahagia atas anugerah cinta, menapaki jalan kehidupan.
Cinta mereka berdua sudah teruji dalam lintasan waktu dengan cara –yang mereka sendiri pun tak pernah menduga–, skenario Tuhan. Hidup dan kehidupan, mereka yang yakin akan adanya ketulusan cinta dalam kehidupan fana dunia, adalah mereka yang beruntung dapat merasakan cinta suci meresap ke dalam sukma mereka dan cinta itu –bersemayam di hati– menguatkan tapak kaki mereka menyusuri kehidupan, melangkah menuju akhir, hingga kembali tunduk, berada di hadapan Sang Pemilik Cinta Sejati.

Ω Ω Ω Ω Ω Ω

Awal Perkenalan
Mendekati pintu gerbang sekolahnya, Aji segera turun dan mendorong sepedanya masuk pintu gerbang sekolah sambil matanya melihat ke lantai atas gedung sekolahnya. Ruang kelasnya memang mudah terlihat dari pintu masuk gerbang sekolahnya.
Setelah memarkirkan sepedanya yang bercampur dengan motor di tempat penitipan kendaraan, Aji berjalan menuju kelasnya. Ia kemudian berpapasan dengan Ryan yang juga baru selesai memarkirkan motornya.
“Hai, Ryan.” sapa Aji.
“Eh, Ji,” Ryan membalas, “kok gue tadi nggak ngeliat elu ya di tempat penitipan kendaraan?”
“Sepeda gue di parkir paling pojok, Ryan.” jawab Aji.
“Ooh, pantesan,” ucap Ryan.
Mereka pun berdua berjalan bersama lalu menaiki tangga yang berundak-undak yang mengantarkan mereka hingga sampai ke kelasnya di lantai atas.
  Gedung SMA di mana Aji dan Ryan bersekolah letaknya menjorok jauh ke dalam dari jalan raya utama. Gedung SMA itu dikelilingi perumahan yang ramai penghuninya. Dengan lapangan multi fungsi (selain sebagai tempat berolahraga, juga dijadikan sebagai tempat upacara dan kegiatan lainnya) yang dikelilingi bangunan-bangunan kelas, sekolah itu terlihat asri dengan adanya pohon-pohon dan tanaman-tanaman hijau menghiasi seluruh sekolah.
Kurang dari setengah jam Aji dan Ryan masuk ke dalam kelasnya, guru pun masuk kelas dan mulai memberikan pelajaran kepada para siswanya. Pak Jana yang mendapat jatah mengajar di jam pertama kelas. Di tengah waktu mengajarnya, sebagai wali kelas, pak Jana mengingatkan kepada murid-murid kelasnya supaya mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk ujian tingkat akhir tiga bulan mendatang.
Bel istirahat pun berbunyi setelah beberapa mata pelajaran usai. Seperti biasanya, suasana kelas pun menjadi riuh ramai. Ryan dan Aji terlihat keluar dari kelasnya bersama dengan kawan-kawan sekelasnya. Sebagian dari mereka berjalan menuju kantin, sebagian lagi menyebar sesuai dengan niatnya masing-masing.
“Ji, gue mau ke kantin di lantai bawah, elu mau ikut barengan, nggak?” tanya Ryan.
“Elu duluan deh, ntar gue nyusul kalo jam istirahat masih ada sisa.” jawab Aji.
“Naah … gue tau nih, gue tau. Elu ada kepengen ketemuan, kangen-kangenan sama si Cahaya ya? Hayoo, ngaku aja,” ucap Ryan bernada menggoda Aji, kawan akrabnya itu.
“Hehe, gue mau ke perpus, Ryan,” Aji membalas tanya kawannya dengan santai.
“Iya, iya, dan di dalam perpus udah ‘bertengger manis’ ‘Sang Cahaya’, hahahaha,” Ryan menggoda makin menjadi.
“Hahahaha, kalo Cahaya bertengger, diusir dong sama penjaga perpus-nya.” Aji menimpali canda kawannya.
“Ya nggak, dong.” Ryan tersenyum.
“Lagian, pake istilah ‘bertengger’ segala, emangnya Cahaya burung? Hhhh!” Aji bicara.
“Ya, burung merpati. Merpati tak pernah ingkar janji, hahahaha,” Ryan berucap dan tertawa lalu meninggalkan Aji yang terus melangkah menuju perpustakaan sekolah.
Sementara Aji sedang berjalan menuju perpustakaan sekolah, Cahaya sudah berada di dalam perpustakaan, duduk membaca buku sambil menunggu Aji datang. Tak lama, Aji pun datang menghampiri –dengan buku di tangan kanannya– Cahaya dan duduk di samping kanan Cahaya. Cahaya menengok kepada Aji, tersenyum dan bertanya, “Baca buku apa, Ji—?”
Aji cepat memotong tanya Cahaya, dengan memberi isyarat –menyilangkan jari telunjuk ke mulutnya– kepada Cahaya.
“Sstt, baca buku apa, Aji?” Cahaya mengulang ucapannya dengan suara pelan—pelan sekali.
Aji menjawab hanya dengan menunjukkan muka buku yang dibacanya kepada Cahaya dan tersenyum. Cahaya membaca judul buku yang ditunjukkan Aji, lalu mengangguk-anggukan kepalanya –dengan gaya wajah yang dibuat lucu– yang membuat Aji menahan tawa.
“Sstt!” Cahaya kini yang menyilangkan telunjuk ke mulutnya kepada Aji dengan wajah yang dibuat seolah-olah marah.
Aji tersenyum kepada Cahaya lalu tangannya kembali membuka buku dan melanjutkan membaca.
Kemudian, mata mereka berdua masing-masing asyik mengikuti huruf-huruf yang terangkai dari halaman buku yang mereka baca.
Begitulah mereka berdua. Dengan kesamaan hobi mereka berdua membaca buku di perpustakaan, juga saling membuka dan membaca “buku hati” di antara satu sama lain di dalam kebersamaan mereka. Entah berapa “halaman buku hati” mereka yang sedang dan sudah selesai mereka berdua baca di antara satu sama lain. Namun yang pasti, rasa cinta di hati mereka berdua semakin tumbuh dengan cara itu.
Rasa cinta tumbuh di antara mereka berdua dengan cara yang tulus selaras dengan waktu kebersamaan yang mereka miliki.
******
Wajah Cahaya menengadah –melihat– ke jam dinding. Sisa waktu jam istirahat 10 menit lagi. Kemudian Cahaya menengok ke sebelah kanan, memberi isyarat kepada Aji –dengan memonyongkan bibirnya–. Bersamaan dengan Aji juga menengok ke sebelah kiri, Aji sudah mengerti isyarat Cahaya –dengan cara memonyongkan bibirnya–, mereka lalu masing-masing bangun dari bangkunya dan berjalan berdampingan keluar dari perpustakaan.
“Haaahhh, —lega rasanya,” Cahaya berucap
“Plong, ya,” Aji menimpali sambil mereka berdua terus berjalan berdampingan.
“Sekarang nggak perlu ‘bahasa isyarat bibir’ lagi ya, hahahaha” ucap Cahaya dengan tertawa, “eh, Ji, kamu suka baca buku tentang dagang ya? Tanya Cahaya menyelidik.
“Mm, iya, —aku suka.” jawab Aji singkat.
Tiba-tiba Ryan sudah ada di belakang mereka berdua dan berucap, “Cieh, sepasang merpati emang nggak pernah ingkar janji buat ketemuan di perpus ya, hahahaha.” Sambil Ryan berlari menerobos di antara Aji dan Cahaya yang berjalan berdampingan. Aji dan Cahaya hanya bisa tertawa melihat tingkah Ryan yang menggoda mereka berdua.
“Dah, Aji,” Cahaya berucap manja saat mereka hendak berpisah dan masuk ke kelasnya masing-masing.
“Seperti biasa, ya,” Aji tersenyum dan telunjuknya menunjuk ke arah pintu gerbang sekolah. Cahaya menjawab dengan anggukan dan berbalik badan lalu berjalan menuju kelasnya.
Cahaya adalah adik kelas Aji (selisih dua tingkat). Jika jadwal kelas mereka berdua bersamaan masuk pagi, Aji dan Cahaya selalu pulang bersama-sama. Seperti hari ini, sepulang sekolah nanti, biasanya Cahaya sudah menunggu Aji di pintu gerbang sekolah, lalu mereka berdua berboncengan naik sepeda. Aji mengantarkan Cahaya hingga ke rumahnya yang berjarak sekitar 300 meter dari sekolah.
Kedekatan Aji dan Cahaya berawal dari kegiatan pengenalan sekolah bagi para siswa baru. Cahaya sebagai siswa yunior dan Aji sebagai siswa senior di sekolah itu. Lama kelamaan, kedekatan di antara mereka berdua “diselimuti” oleh rasa cinta yang tulus. Saling mencintai dengan tulus. Itu saja.
Cahaya sudah terlihat menunggu Aji di pintu gerbang sekolah beberapa saat setelah bel kedua berbunyi. Tak lama kemudian, Aji terlihat keluar dari tempat penitipan kendaraan sambil mendorong sepedanya menuju gerbang sekolah.
“Aku yang dibonceng, atau kamu yang nge-bonceng?” tanya Cahaya menggoda Aji dengan pertanyaan jahilnya saat Aji sudah di hadapannya.
“Mmm … gimana kalo kita jalan kaki … dan sepedanya ditinggal aja di tempat penitipan kendaraan?” Aji berbicara dengan gaya telunjuk menempel di dahi untuk membalas pertanyaan jahil Cahaya.
“Huuu, nggak mau, nggak mauuu …” Cahaya berucap manja menanggapi Aji berbicara. Aji tertawa kecil sambil melihat Cahaya berbicara.
“Ayo, Nona, silakan naik,” ucap Aji.
Cahaya lalu bergegas naik ke bangku belakang sepeda dan mengambil posisi duduk menyamping. Lengan kanannya memeluk pinggang Aji.
“Berangkat,” ucap Aji sambil mengayuh pedal sepedanya setelah mereka berdua duduk nyaman di bangkunya masing-masing.
Jalan menuju rumah Cahaya tidak terlalu ramai dilalui kendaraan. Meski begitu, Aji tetap berhati-hati dan tetap mengambil lajur kiri jalan sambil sesekali wajahnya menengok ke sisi kanan jalan.
“Aaaji,” Cahaya berseru memanggil manja di tengah waktu perjalanan mereka berboncengan berdua.
“Ya, ya, kenapa?” Aji menyahut.
“Hari ini, aku bakal masak buat kamu, Ji,” ucap Cahaya, “Aji mampir ya ke rumah Ni.”
“Mmm … gimana ya, Ni.” Aji berbicara sambil berpikir (menerima/menolak tawaran Cahaya).
“Aah, Aji, mau dong ya, ya, ya,” Cahaya merajuk.
“Iyyaa, deh.” Akhirnya Aji menerima tawaran Cahaya untuk makan bersama di rumah Cahaya.
Setelah +/- 20 menit lamanya Aji mengayuh sepeda, akhirnya mereka berdua sampai di rumah Cahaya. Cahaya turun dari boncengan dan membuka pintu pagar rumahnya lalu mempersilakan Aji masuk.
“Ibu, Iiibu.” Cahaya berseru memanggil ibunya.
Cahaya memberi isyarat dengan tangan kepada Aji untuk mengikutinya. Aji menurut saja. Cahaya dan Aji lalu berjalan menuju ruang makan dengan dapur yang menyatu dalam satu ruang makan itu.
“Eh, Ibu di sini,” ucap Cahaya, “Bu, ini aku bawa Aji, kawanku,”
Ibunya lalu berhenti dari kesibukannya dan menengok –ke arah Aji dan Cahaya– setelah mendengar suara anaknya berbicara.
“Ooh, ya, ya,” Ibu Cahaya berucap singkat.
Lalu Aji menghampiri ibunya Cahaya, bersalaman sambil memperkenalkan diri.
“Jadi, ceritanya Cahaya mau buat masakan buat Aji, Bu, bolehkan?” ucap Cahaya bertanya.
“Boleh, boleh,” jawab ibunya, “sayur asem buatan Ibu masih hangat di panci, kamu, Cahaya, tinggal menggoreng tahu, bikin sambal, bikin telur dadar isi bawang aja ya.”
“Oke, Bu.” ucap Cahaya.
“Diana sudah pulang belum, Cahaya?” tanya ibunya.
“Sepertinya belum, Bu,” jawab Cahaya, “barusan Cahaya lihat pintu kamarnya masih belum terbuka.”
Lalu ibunya Cahaya melangkah keluar dari ruang makan sambil berucap, “O, ya sudah.”
Aji lalu duduk di kursi makan sambil memperhatikan Cahaya mempersiapkan bahan-bahan masakan yang akan dibuatnya.
“Perlu bantuan, Ni?” Aji bertanya menawarkan diri.
“Nggak perlu, Ji.” Cahaya menolak tawaran Aji sambil tangannya tetap bekerja di dapur.
“Aku mau kamu menikmati aja hasil masakanku hari ini, oke?” ucap Cahaya.
Aji tersenyum.
Satu jam pun berlalu dan akhirnya semua hasil masakan Cahaya sudah siap tersaji di meja makan. Masakan dari hasil buatan tangan Cahaya sendiri, untuk Aji.
“Oke, semua sudah siap, mari makan, yuk,” Cahaya berucap sambil mengambilkan nasi yang ditaruhnya di piring untuk Aji. Aji menerima piring berisi nasi itu dan menunggu Cahaya  selesai menyendokan nasi ke piringnya sendiri.
“Ayo, Ji, tunggu apa lagi?,” ucap Cahaya, “itu ambil sayur asem dan masakan hasil buatanku.”
“Iya,” jawab Aji singkat, sambil tangannya mengambil sayur dan masakan hasil buatan Cahaya.
“Oiya, ini sekadar informasi aja buat kamu, Ji,” ucap Cahaya, “bisa tolong ambilkan kerupuk yang tergantung di dinding di belakang kamu, Ji?”
Aji lalu bangun dari duduknya mengambil kerupuk di dalam plastik dan meletakkannya di meja makan.
“Informasi apa?” tanya Aji, sambil kembali duduk ke tempatnya semula.
“Ya itu, kerupuk yang kamu ambil barusan dan sambal kecap itu, menu masakan yang harus selalu ada setiap aku makan.” Cahaya menjelaskan sambil telunjuknya menunjuk ke kerupuk dan sambal kecap di atas meja.
“Harus?” tanya Aji memastikan.
“Ya, harus, harus ada!” jawab Cahaya memastikan sambil mengambil satu kerupuk dan menggigitnya.
Dan mereka berdua menikmati masakan hasil buatan Cahaya. Terkadang mata mereka saling bertemu pandang dalam kenikmatannya menyantap masakan Cahaya. Jika saling pandang itu terjadi, mereka berdua lalu tersipu malu sambil melanjutkan menyantap masakan.
Selesai makan, mereka berdua lalu berjalan menuju ruang tamu dan duduk berdua.
“Gimana, enak nggak masakan hasil buatanku, Ji? tanya Cahaya.
“Enak enak enak!” Aji menjawab dengan nada ucapan yang cepat sambil tertawa.
Wajah Cahaya terlihat senang dan puas mendapat jawaban dari Aji.
“Oiya, aku mau ingetin kamu ya, Ji, nggak apa-apa kan? Cahaya melanjutkan berbicara.
“Ya, ingetin aku soal apa dulu dong, Ni?” tanya Aji
“Mmm … Aji belajar rajin ya, biar lulus dan dapat nilai bagus.” Cahaya berucap dengan nada serius sambil memandang dengan tatapan lembut ke wajah Aji.
Hati Aji seolah mengembang setelah mendengar Cahaya mengingatkan dan memberi semangat kepadanya.
“Ni, makasih ya, kamu udah ingetin aku,” ucap Aji serius, “dan kata-kata kamu barusan bikin aku jadi lebih semangat belajar untuk lulus dan mendapat nilai terbaik.”
Cahaya tersenyum menanggapinya dengan anggukan kepala.
Lalu Aji bertanya topik pembicaraan lain.
Aji: “Ni,  tipe lelaki idamanmu itu seperti apa sih?”
Cahaya: “Ya, yang pasti yang sudah punya penghasilan-lah.”
Mendengar jawaban Cahaya itu, Aji tertunduk dan hatinya “me-layu”. Merasa bahwa dirinya belum memenuhi kriteria tipe lelaki idaman versi Cahaya.
Aji: “Mmm … sepertinya aku tidak sesuai dengan tipe lelaki yang kamu idamkan itu ya. Lalu buat apa hubungan ini terus berlanjut?”
Cahaya: “Mmmaksud kamu apa, Ji?”
Cahaya bergegas duduk dengan punggung lebih tegak, khawatir membuat Aji merasa diremehkan.
Aji: “Iya, hubungan kita cukup sampai di sini aja ya.”
Cahaya: “???”
Bingung menangkap maksud perkataan Aji dan berusaha mencari letak kesalahan ucapannya barusan.
Tapi Aji sudah bangun dari tempat duduknya, lalu minta pamit pulang. Cahaya menemani Aji hingga gerbang pintu rumah. Aji mengulurkan tangan mengajak Cahaya bersalaman. Cahaya –dengan rasa bingungnya yang masih belum pergi– memandang sekilas ke wajah Aji, lalu akhirnya menerima jabat tangan Aji. Setelah Aji mengucapkan salam, Cahaya masih berdiri (dengan masih merasa kebingungan) memandang punggung Aji berjalan –sambil mendorong sepeda– menjauhinya.
Semenjak kejadian itu, antara Aji dan Cahaya tidak pernah lagi terlihat bertemu di perpustakaan sekolah, berjalan berdua, dan berboncengan sepeda bersama sepulang sekolah.
Bahkan, setelah pengumuman kelulusan pun, Aji bagai ditelan angin, Cahaya tak memiliki kabar sedikitpun tentang Aji. Tapi, nasehat Cahaya dituruti oleh Aji. Aji berhasil lulus ujian akhir.

Ω Ω Ω Ω Ω Ω

Dicium dan Dinikahi
Inilah satu potongan peristiwa ujian cinta yang berhasil dilalui Aji dan Cahaya.
Hujan rintik-rintik sore itu mengguyur desa –yang mendapat kunjungan sekelompok mahasiswa satu universitas–, menjadikan suasana jalan-jalan di desa itu menjadi lengang. Hampir semua warga desa memilih untuk tinggal di rumah, membuat minuman-makanan hangat yang menemani mereka mengobrol ringan bersama anggota keluarganya.
Begitu juga dengan para mahasiswa, sebagian besar dari mereka telah kembali ke rumah-rumah warga yang untuk sementara dijadikan sebagai base camp selama mereka berkegiatan di desa itu.
Di dalam satu rumah warga –yang menjadi base camp mahasiswa putri–, Cahaya duduk di bangku, terlihat matanya semakin lama semakin menutup, –mengantuk– bersama dagunya yang terangguk-angguk turun dan hampir menempel pada  dada bagian atasnya. Suasana sepi di bagian ruang tamu –di mana Cahaya duduk– rumah itu. Sementara, Ririn dan Nurbaya, lebih memilih masuk kamar setelah hampir seharian kegiatan mereka full di desa itu.
Lalu, sekelebat bayangan seseorang terlihat di dinding rumah, melangkah masuk perlahan dari pintu depan  –yang menjadi base camp mahasiswa putri–. Sementara Cahaya sudah tertidur, bayangan itu menghilang –tertutup cahaya– dan si empunya bayangan akhirnya sudah berada di hadapan Cahaya. Sesaat kemudian, dia sedikit membungkukkan tubuh dan wajahnya perlahan-lahan mendekati wajah Cahaya.
Merasakan ada sentuhan hangat yang menempel di bibirnya, Cahaya terbangun, membuka matanya dan terperanjat.
"Joko, apa-apaan ih!" Parau suara Cahaya terdengar sambil badannya beringsut dan duduk lebih tegak karena merasa dirinya terancam.
Joko adalah kawan sekampus Cahaya, Nurbaya juga Ririn. Watak Joko kurang tegas, lebih mengutamakan ego daripada akalnya. Dia terbilang anak dari orangtua yang kaya dan cenderung manja, meski begitu, di kampusnya ia termasuk mahasiswa cukup pintar dan suka berorganisasi.
Antara Joko dan Cahaya memang akrab, namun rupanya Joko sudah memendam lama perasaan suka kepada Cahaya. Dia mencari waktu yang tepat untuk mengungkapkan perasaannya kepada Cahaya. Dan waktu di ruang tamu itulah yang tepat (menurut Joko).
"Cay, kamu nggak usah takut," ucap Joko, "aku hanya membangunkan kamu (dengan mencium Cahaya) aja, kok."
"Ya, tapi —" Joko meletakkan sisi jari telunjuknya menyilang di atas bibir Cahaya.
Lalu Joko mundur beberapa langkah ke belakang.
"Ucay, aku sengaja menemui kamu di sini," ucapan Joko tertahan sejenak, "ada yang mau aku omongin sama kamu."
Terdengar suara Ririn dari dalam kamar bertanya, "Ucay, kamu bicara sama siapa sih?"
"Joko!" jawab Cahaya singkat.
"Oooh ..." Ririn menimpali singkat.
Joko sedikit bergerak mendekati Cahaya yang masih duduk tegak di bangkunya sejak "kejadian" itu.
"Begini Cay, mungkin kamu nggak menyangka aku akan bicara sesuatu diluar dugaan kamu.—" Joko melanjutkan bicaranya.
"Mau bicara apa, Jok? Udah deh, jangan berbelit-belit gitu ngomongnya." Cahaya memotong ucapan Joko sebab suasana menjadi makin kaku dan "aneh".
"Aku suka kamu. Serius. Sudah lama aku memendam rasa ini sama kamu, Cay." Joko berbicara terbata-bata.
"Dengan 'cara' seperti tadi?" Intonasi suara Cahaya sedikit meninggi menahan kesal.
"Apa nggak ada waktu yang lebih pas buat kamu bilang ke aku tentang isi hati kamu?" tanya Cahaya
"Aku nggak merekayasa semua kejadian tadi, Cay. Semua terjadi begitu saja." jawab Joko sedikit berargumen.
"Aku serius, Cay. Aku nggak main-main dengan isi hatiku." Joko berusaha meyakinkan Cahaya tentang perasaannya.
Hening. Masing-masing terdiam.
******
Beberapa hari setelah “kejadian” itu, Cahaya belum memberi jawaban apapun kepada Joko. Cahaya masih syok, hari ini –sepulang dari desa–, di teras rumahnya Cahaya duduk melamun sambil mengangkat dan memeluk kedua lututnya dengan kedua tangannya. Lamunannya menghampiri kenangan masa SMA –jelang kelulusan seseorang yang disayanginya–, saat ia harus berpisah dari seseorang yang disayanginya akibat salah paham di antara mereka berdua. Lamunannya pergi ketika ia mendengar ibunya berbicara di sampingnya.
“Cahaya, kamu kenapa?” tanya ibunya, sambil mengelus sayang punggungnya.
“Mmm … nggak apa-apa, Bu.” Cahaya menjawab sambil tersenyum hambar.
“Bu, mmm …,” ucapan Cahaya tertahan, jeda, “Cahaya mau nanya sama Ibu, boleh?”
“Boleh, mau nanya soal apa?” Ibunya balik bertanya sambil duduk di samping Cahaya.
“Cahaya kalau ingin menikah sebelum wisuda, boleh Bu?” tanya Cahaya meminta kepastian ibunya.
Ibunya terdiam sejenak. Jeda kemudian ibunya berbicara, “Cahaya, ya kamu sudah dewasa, menikah itu kan keputusanmu, Ibu hanya merestui. Dan jangan lupa kamu kunjungi makam Ayahmu juga –minta doa restu– kalau memang keputusan kamu untuk menikah sudah bulat genap. Eh, ngomong-ngomong, siapa lelaki yang akan menikahi kamu, Cahaya?”
“Joko, Bu” jawab Cahaya singkat.
“Ooh, Joko. Ibu kira kalian berempat (Cahaya, Joko, Ririn, Nurbaya) berkawan akrab saja. Rupanya kamu dan Joko sudah lebih dari akrab, toh?” ucap ibunya dengan nada sedikit kaget.
Lalu ibunya melanjutkan berbicara, “Ya sudah, kapan Joko dan keluarganya mau berkunjung ke rumah dan membicarakan hal pernikahan itu?”
“Nanti Cahaya kasih tahu Ibu.” jawab Cahaya.
Ibunya membelai lagi punggung Cahaya, berdiri dari duduknya, kemudian masuk ke dalam rumah. Sekerlingan mata Cahaya melihat senyum simpul ibunya nampak di wajahnya.
“Kejadian” itu –sengaja– tidak diceritakan kepada ibunya. Cahaya sangat khawatir ibunya marah besar, sebab ibunya selalu mendidik dan mewanti-wantinya tentang harga diri dan kehormatan sebagai seorang perempuan. Kesucian kehormatan perempuan harus dijaga (nasehat ibunya), penodaan kesucian kehormatan akibat “kejadian” itu merupakan suatu aib.
Pernah satu waktu  ibunya menakut-nakuti Cahaya dengan berucap, “Jangan mau dicium lelaki, nanti kamu hamil!” Cahaya tersenyum kecil ketika ingat kembali perkataan ibunya itu. Hanya Cahaya bergumam lirih kali ini –di teras rumah–, “Maafkan Cahaya, Ibu, Cahaya sudah terlanjur dicium Joko. Dan Cahaya akan menuntut pertanggungjawaban Joko atas perbuatannya.”
******
Ruang kuliah kembali ramai oleh suara para mahasiswa-mahasiswi setelah mata kuliah usai dan dosen keluar dari ruang  perkuliahan. Nurbaya menghampiri Cahaya yang masih duduk sambil membenahi buku dan memasukkannya ke dalam tas.
“Cay, kita ke kantin yuk.” ucap Nurbaya.
“Boleh tuh, mata kuliah lainnya kan nanti dua jam lagi.” Ririn yang menyahut ajakan Nurbaya.
“Gimana, Cay?” Ririn kini yang bertanya.
“Mmm … yuk.” Cahaya menjawab setelah selesai berbenah buku.
Mereka bertiga lalu berjalan menuju pintu keluar ruangan perkuliahan. Belum genap lima langkah dari pintu keluar ruangan perkuliahan bagian luar, Joko berseru memanggil mereka bertiga.
“Rin, Nur, Cay, tunggu!” seru Joko.
Mereka bertiga berhenti dan menengok. Joko menghampiri mereka bertiga dan Joko terus memandangi wajah Cahaya seperti mencari “sesuatu”  dari pandangan mata Cahaya.
“Rin, Nur, kalian duluan deh ke kantinnya.” Cahaya berbicara sambil memberi isyarat kepada kedua temannya agar meninggalkan mereka (Cahaya dan Joko) berdua.
“Oke … oke.” Ririn meng-iya-kan dan mengajak Nurbaya pergi ke kantin.
Lalu Joko dan Cahaya berjalan berbeda arah dengan Ririn dan Nurbaya. Sambil terus berjalan, Joko menanyakan jawaban atas rasa sukanya kepada Cahaya. Kemudian mereka pun berhenti di sisi dinding perpustakaan yang koridornya cukup lengang.
Cahaya lalu membuka pembicaraan.
Cahaya: “Mmm … begini ya Jok. Kalau aku beri jawaban itu sekarang ke kamu, kamu mau nerima dengan semua konsekuensinya?”
Joko: “Berapa kali aku harus bilang sih, aku serius dengan isi hatiku.”
Cahaya: “Oke, kalau kamu memang benar-benar serius. Lamar aku dan nikahi aku!”
Air muka Joko tiba-tiba berubah tegang bercampur keringat (diam beberapa saat).
Joko: “Tapi aku masih belum punya pekerjaan tetap, meskipun wisuda sebentar lagi, bagaimana aku menafkahi kamu, Cahaya?”
Cahaya: “Tadi kamu bilang, katanya kamu serius dengan isi hati kamu?”
Joko: “Kamu sendiri gimana?”
Cahaya: “Aku tergantung kamu (tergantung keputusan Joko mau/tidak menikahinya).”
Joko pun sempat tertunduk berpikir beberapa saat.
Joko: “Oke, aku terima. Aku akan melamar kamu lalu menikahi kamu.”
Cahaya: “Bagus! Aku akan memberi tahu Ibuku soal keputusanmu ini. Ayo, sekarang kita ke kantin.”
Dan mereka lalu berjalan berdampingan menuju arah kantin. Dalam perjalanan menuju kantin, mereka berdua sempat sedikit-banyak membahas; membicarakan tentang bagaimana proses melamar, menikah, dan bagaimana cara Joko menafkahi Cahaya setelah nanti mereka berdua menikah. Bagi Cahaya, bukti Joko benar menikahinya adalah tuntutan Cahaya atas pertanggungjawaban Joko dengan "perbuatannya"  waktu itu. Biar begitu, keputusan Cahaya menantang Joko menikahinya sudah dipikirkan sebelumnya masak-masak. Jalan ini (menikah) adalah jalan yang dianggap oleh Cahaya sebagai jalan terbaik buat mereka berdua.
Dan pernikahan antara Joko dan Cahaya benar terjadi. Setelah menikah, mereka berdua tinggal dengan mertua Cahaya. Ada satu ruangan kamar yang cukup besar bagi mereka berdua. Sementara mereka berdua belum lulus kuliah –wisuda–, kebutuhan-kebutuhan Joko dan Cahaya ditanggung oleh keluarga mereka masing-masing. Tapi untuk kebutuhan menafkahi Cahaya, Joko masih menggantungkan dari pemberian orangtuanya.

Ω Ω Ω Ω Ω Ω


Catatan dari pengarang:
Mohon  maaf, cerbung ini sudah terangkum dalam bentuk novel yang bisa dibeli versi cetak dan digitalnya.

Versi buku cetak: Tokopedia

ISBN: 978-602-6364-42-5

Google Books: https://books.google.co.id/books/about/Antara_Aji_Cahaya_dan_Joko.html?id=RU8dDQAAQBAJ&redir_esc=y



Comments

Pos Populer