Anda Sudah Rela?

Ingat mati
Ingat mati
Mmm, ternyata, malam ini niatnya mau tidur tidak terjadi. Sebab berbicara ngalor-ngidul dengan seseorang yang baru dikenal, tapi ternyata obrolan kami menjadi nyaman. Meski sesekali Saya membalas chat di HangOuts dan sambil terus ngobrol dengan orang yang baru saja saya kenal malam ini.
Saya juga lupa, apa pembuka awal obrolan sehingga kami berdua menjadi klik and match. Padahal saya tipe orang yang jika berbicara irit. Tapi, mmm ... yaya, mungkin karena topik bahasannya adalah topik yang sama-sama kami sukai dan kami masing-masing punya "bahan" yang cukup banyak untuk menjadikan obrolan kami bertahan lama. Itulah mengapa kami bisa mengobrol hingga satu setengah jam lebih dengan sedikit jeda.


Setiap orang sepertinya pernah mengalami apa yang barusan saya alami. Tempat kejadiannya bisa di mana saja. Bertemu orang baru dikenal dan berbicara tentang satu topik yang memang sama-sama disukai.

Topik dan suka. Karena suka dengan topik, tentunya seseorang minimal memiliki referensi awal dan terus menggali referensi tambahan dari topik yang disukainya. Itulah penghubung dan penguat mengapa saya dan kawan baru dikenal saya itu betah ngobrol hingga larut malam. Dan banyak manfaat bertukar referensi yang kami dapatkan dari obrolan itu. Dan satu yang utama, yaitu tambah kawan baru dan terjalin tali silaturahiim.

Ya, terus terang sih, topik yang kami saling sukai ini terhitung jarang sekali orang menyukainya, meski dikalangan awam orang-orang sudah mengetahuinya, minimal mendengarnya. Mau tahu? Yakin? Topiknya adalah: mati, wafat, meninggal dan kata lainnya yang semakna.

Ada yang suka dengan topik ini? jawabannya, "Ada." Berapa banyak orang yang suka membicarakan topik ini? 
Liang kubur kematian
Liang kubur kematian

Kematian itu memang selalu jadi momok yang mengerikan –bagi sebagian besar orang–, karena itu jarang sekali orang mau ngobrol soal topik mati dan kematian ini. Tapi, kawan baru saya ini memiliki bahan pengalaman yang khas dan unik dan ... itu semua adalah peristiwa nyata yang dialaminya. Bayangkan, bagaimana seseorang yang dulunya berandalan bisa berubah 180° karena kejadian "mati" yang dialami bahkan hingga dua kali. Entah kenapa kawan saya itu kok mau bercerita dengan cara yang menarik –menurut saya– saya untuk lebih penasaran dengan kejadian nyata yang dialaminya.

Kali pertama kawan saya itu "mati" (peringatan pertama dari Gusti Allah, menurut saya), dia bisa hidup kembali dan tanpa perubahan berarti. Maksudnya, kematiannya yang gagal –sebab dia hidup lagi– itu tidak membuat telinga hatinya menjadi merah akibat tersentil. Kembali dia hidup seperti biasanya seperti kehidupannya yang berandalan. Bahkan menurut ceritanya, dia menjadi lebih parah dari waktu sebelumnya. 

Lalu, datanglah "sentilan kematian" kepadanya untuk kali kedua. Meski diluar nalar dan kami tidak bisa mengambil contoh –untuk perbandingannya– dari barang atau sesuatu yang ada di dunia ini. Ya, kawan baru saya itu memang agak sulit bercerita dan mengambil contoh perbandingannya dari apa yang dialaminya di "kematian" kedua kalinya ini. Apa yang dialaminya disebut mimpi, tapi ya ... bukan juga karena kurang tepat. Apa yang dirasakannya seperti bertemu seseorang yang menunjukkan sebuah buku catatan kepadanya, lalu dia seperti melewati sebuah jalan yang di kiri-kanan jalannya itu rindang pepohonannya, rumputnya. Tapi pepohonan dan rumput itu tidak sama dengan pepohonan dan rumput di bumi. Dia juga bercerita tentang mencium suatu wangi yang selalu menempel di ujung cuping hidungnya hingga sekarang, tapi tidak ada dan tidak ditemukan olehnya wangi yang sama seperti wangi itu. Inti ceritanya, segala sesuatu yang dialaminya, dirasakannya dan ditemuinya di "kematian" itu, tidak ada di bumi, tempat kita hidup sekarang ini.
Ilustrasi buku amal
Seperti inikah jalannya?

Sebuah buku yang ditunjukkan oleh seseorang kepadanya.

Dalam "kematian"-nya, seseorang menunjukkan sebuah buku catatan terbuka kepadanya. Dan orang itu menyuruh kawan saya itu untuk kembali (kembali hidup di bumi) setelah menunjukkan buku catatannya yang masih tetap terbuka. Setelah kembali hidup dari "kematian"-nya yang kedua ini, barulah kawan saya itu merenung, tersadar, menyesali, bersyukur (sepertinya semua rasa bercampur baur) atas hikmah simbolisasi buku catatannya yang masih terbuka yang ditafsirinya sebagai kesempatan untuk bertobat dan berubah masih terbuka lebar untuknya di sisa umurnya ini, meskipun dosa-dosanya –cukup banyak– bertebaran menzalimi orang lain.

Sekarang, dalam kesederhanaan ke-ikhlasannya menjalani hidup menuju akhir kematiannya –yang sudah pernah dialaminya–, kawan saya itu berusaha menghapus segala dosanya dan menggantinya dengan perbuatan baik sekuat kemampuannya. Dia menasehati saya, "Mati itu pasti. Bekal untuk setelah kematian itu salah satunya adalah kerelaan, kepasrahan, ke-ikhlasan atas kamu yang pasti mati."

Anda sudah rela?

Comments

Pos Populer