Kenapa Harus Malu?

Malu. Dalam keyakinan agama Islam, malu adalah sebagian dari tanda-tanda keimanan. Seseorang yang memiliki rasa malu akan berpikir sebelum berbuat, berpikir sebelum berbicara. Bahkan mungkin, berpikir sebelum berpikir!! Tapi di zaman ‘telanjang’ seperti sekarang ini, sebaliknya banyak orang merasa malu bila masih punya rasa malu. Aneh memang. Justeru sebagian orang yang berkata aneh akan dianggap orang aneh di zaman ini.

Standar ke-malu-an manusia-manusia zaman sekarang kebanyakan begitu tinggi. Ya, begitu tinggi bila di bandingkan dengan kebenaran penempatan posisi rasa malu yang tepat. Contoh: Si fulan malu miskin meski dia pegawai level menengah dan si fulan tidak malu korupsi untuk menutupi ke-malu-annya sebab menjadi pegawai level menengah tapi miskin. Contoh lainnya, Si fulanah yang perawan malu dengan keperawanannya sebab lingkungan sosialnya adalah para gadis bukan perawan. Untuk itu, agar bisa tetap diterima di lingkungan sosialnya si fulanah rela hilang ke-malu-annya agar mendapat status gadis bukan perawan. Aneh memang. Justeru sebagian orang yang berkata aneh akan dianggap orang aneh di zaman ‘telanjang’ sekarang ini.


Pertahankan rasa malumu
Sumber: http://lazisdewandakwah.org/
Kenapa harus malu?!! Ya, kalimat itu menjadi tembok argumen bagi mereka ditambah di akhir kalimat itu dengan,"Toh banyak orang lain berbuat seperti yang Saya lakukan!" Tapi, tidak semuanya memiliki standar ‘ke-malu-an’ seperti yang Saya ungkapkan diatas. Masih ada sedikit manusia-manusia di zaman ini yang masih memiliki rasa malu yang benar dalam penempatannya. Dan mereka kebanyakan tinggal di desa pedalaman. Mereka tetap menjaga rasa malu yang benar dan menerapkannya dalam kehidupannya sehari-hari.

Bagaimana dengan seseorang yang memiliki standar ‘ke-malu-an’ yang benar tapi berada di lingkungan dengan standar ‘ke-malu-an’ yang berbeda? Tergerus atau terpelanting adalah jawabannya. Realita ini dulu pernah dialami teman Saya. Ketika teman Saya itu memutuskan migrasi ke kota besar, setelah beberapa tahun kemudian kita bertemu di acara hajatan desa. Dan Saya terkaget-kaget melihat teman Saya itu yang berubah 180 derajat. Itu baru dari apa yang Saya lihat. Belum lagi dari apa yang Saya dengar dari mulut teman Saya itu. Saya mendengar perubahan pemahaman tentang standar ‘ke-malu-an’ teman Saya itu melalui mulutnya. Tergerus dan terpelanting, menurut Saya. Mungkin bagi teman Saya itu dia mencapai suatu perubahan mengikuti perkembangan zaman. Ya zaman yang ‘telanjang’ !!

Comments

Pos Populer