Mentakziahi Alam Semesta

Ada satu budaya yang masih terjaga dan lestari dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia, budaya itu adalah takziah (berkunjung kepada keluarga yang anggota keluarganya mendapat musibah kematian). Faedah dari budaya ini cukup banyak, minimal dilihat dari dua sisi. Pertama, faedah dari sisi keluarga yang dikunjungi dan faedah kedua dari sisi yang mengunjungi. Ya, meskipun sebagian orang masih ada yang belum bisa menerima dengan hati lapang dan akal yang tunduk atas benarnya kenyataan bahwa kematian adalah suatu hal yang pasti, pasti terjadi. Namun lestarinya budaya takziah ini menjadi bukti bahwa kematian adalah suatu hal yang pasti, pasti terjadi kepada siapapun dan dimanapun di kolong langit ini.



Nah, artikel ini tidak membahas tentang faedah takziah. Lho (?) Ya, artikel ini sengaja dirangkai kata dan kalimatnya untuk membahas sisi lain dari sebuah kenyataan kematian. Mempertanyakan ke mana dan di mana mereka setelah mati sementara menunggu sang waktu mati. Alam semesta ini fana. Dan artinya, alam semesta ini juga akan mati. Tidak peduli banyak dari mereka yang belum atau tidak bisa menerima dengan hati lapang dan akal yang tunduk atas benarnya kenyataan bahwa alam semesta ini juga akan mati. Kematian mereka, Anda dan saya adalah bukti atas pernyataan ini.

Alam semesta ini sudah berumur, bahkan lebih tua dari umur Nabi Adam A.s. Adalah lebih bijak bila kita lebih memilih mentafakuri daripada selalu mengelak kenyataan yang pasti akan datang ini. Berapa banyak generasi sebelum kita yang mengelak dan akhirnya tertolak? Dengan mentafakuri kenyataan ini, kita, manusia bisa mempersiapkan diri dengan selalu menjembarkan hati setiap saat, hingga saat kematian itu datang, kejembaran hati ini mampu tersenyum menerima tamu kepastian itu bertandang.

Alam semesta ini sudah berumur, bahkan lebih tua umurnya dari manusia terakhir yang mati. Jika Anda tidak atau masih belum percaya, berharaplah menjadi manusia terakhir itu.

Hikmah terdalam yang menghujam hati dalam mentafakuri akan kematian alam semesta adalah bahwa alam semesta dan segala isinya ini diciptakan.

Lalu, timbul pertanyaan, "Di manakah mereka –generasi dahulu– menunggu selama ini?" Saya berpendapat bahwa waktu bersekat-sekat. Sekatan itulah yang memisahkan antara mereka yang hidup dengan mereka –generasi dahulu– yang sudah mati. Dan sekatan ini juga memisahkan antara kita, manusia dengan makhluk jenis berbeda. Berbeda dari asal penciptaannya. Sungguh suatu alam semesta yang membuat orang yang mentafakurinya berdecak kagum. Suatu ruangan unik. Suatu ruangan yang tercipta tanpa ada contoh.

Keluarga Saya, Anda, mereka ketika mati di-takziah-i, tentu beban kesedihan hatinya minimal agak berkurang. Dan budaya takziah juga membantu keluarga yang ditinggalkan menjadi lebih jembar hatinya menerima kematian si fulan. Jika ingin belajar menjembarkan hati, belajarlah kepada alam semesta. Sebab ia adalah yang paling memiliki kejembaran saat ia dihancurkan dan...mati.
Ilustrasi Alam Semesta
Sumber: https://upload.wikimedia.org/

Comments

  1. Alam semesta ini memang ruangan maha luas yang menyimpan segudang misteri yang maha luas juga. Manusia ibaratnya cuma setitik debu di tengah luasnya alam semesta. Kadang gua suka mikir, kalo ada satu manusia aja meninggal, apakah berdampak besar pada kelangsungan alam semesta? Pasti ngga. That's why kita mesti sadar masih ada yang lebih maha besar dari ini semua.

    Kok jadi ngelantur hehe. Mau comment yang masalah generasi pendahulu. Ya, mereka berada di ruang tertentu, dalam sekatan tertentu, menunggu waktu untuk dibangkitkan bersama-sama.

    Semoga comment ini nyambung sama isi artikel di atas. Artikelnya keren bro :-)

    ReplyDelete

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan berikut berkomentarnya kamu.

Pos Populer