Maafkan Aku, Mas

Aku terpaku. Perempuan itu menarik punggung tanganku dan menciumnya dengan khidmat. Dan menyisakan beberapa tetes air matanya yang masih menempel di punggung tanganku, lalu diiringi ucapannya yang lirih, "Maafkan aku, Mas." Dan perempuan itu beranjak pamit sementara aku masih dengan keterpakuanku, memandangi punggung tubuhnya yang semakin lama semakin menjauh dan menghilang di ujung jalan.

Ah! Tersadar aku dari lamunan. Potongan peristiwa masa laluku yang seolah nampak jelas kembali ketika aku memandang foto wajahnya di Facebook. Seraut wajah hitam manis berbalut jilbab cokelat muda dengan garis senyum lebar, simetris bersama bangir hidung juga dua binar bola matanya.
Sampai detik ini pun, aku masih memvonis diriku sendiri dengan "palu" kegagalan. Semua di luar dugaan, ketika dahulu aku berucap kepada Nia, "Ni, Mas memutuskan untuk sementara kembali pulang."

"Mengapa Mas? Apa alasannya?" Nia bertanya seolah curiga dengan keputusanku.

Terus terang, saat itu adalah saat yang sulit untuk aku membuat keputusan yang adil. Mendahulukan keluargaku atau mengutamakan Nia. Namun aku memutuskan mendahulukan keluargaku, sementara Nia memberi alternatif solusi bertunangan dahulu. Terlanjur aku teguh dengan keputusanku sementara Nia tak jera dengan selalu menyodorkan solusi alternatifnya.

Badai yang terlihat jauh mulai semakin mendekati kami berdua. Sungguh! Andaikata kami berdua saling berpelukan erat saat badai itu datang menerpa, tidaklah rasa sesal ini tersisa. Namun sayangnya, badai itu menerpa kami berdua bersamaan dengan pertengkaran dan air mata. Kalut, rasa tidak ingin berpisah, rasa curiga, cemburu, ego dan semua rasa-rasa lainnya yang menggenapi, menjadi ganjil ketika rasa cinta mulai tersisihkan.

Kegaduhan emosi dan rasaku menjadikan betik niatku tak sempat terucap dan terdengar di telinganya, meski lirih sekalipun.

"Aku mencintaimu, Nia ... dan aku juga mencintai keluargaku. Tunggu aku, percayalah, aku akan kembali untukmu." Itulah betik niatku yang seharusnya terangkai dalam ucapan dan terdengar olehnya meskipun lirih.

Dua tahun setelah keterpisahan kami, aku mulai bangkit dari keterpurukan setelah dengan kedua tanganku berusaha menopang keluargaku. Sebagai anak lelaki pertama, adalah kewajibanku untuk itu.

Hitam mulai menggelayut di dinding langit setelah me-merah. Aku berjalan dengan semangat menyusuri jalan mencari wartel untuk memberi kabar baik kepada Nia bahwa aku akan kembali dan ... ah akhirnya kutemui. Secarik kertas bertuliskan angka nomor telepon kukeluarkan dari dompetku setelah aku berada dalam bilik wartel. Tak sabar rasanya aku ingin segera memberitahukan kabar gembira ini buatnya.
Terdengar nada sambung ... lalu terdengar suara di ujung telepon berucap, "Hallo, Assalamu'alaykum."
"Wa'alaykumsalam," sigap kujawab dan aku melanjutkan bertanya, "saya bisa berbicara dengan Nia?"

"Ini siapa ya?" Pertanyaan di ujung telepon kujawab, "Saya Andri."

Lalu sejenak hening. Tak terdengar suara apa pun menyambut. Beberapa detak detik kemudian terdengar suara, "Maaf Mas Andri, saya Nindi, adiknya Mba Nia."

Aku terkejut sebab aku mengenal Nindi yang pendiam dan tak banyak berbicara. Lalu Nindi melanjutkan pembicaraan, "Mas, sebaiknya Mas Andri jangan menelepon Mba Nia lagi ... mmm ... sebab ... Mba Nia sudah punya anak satu."

Lalu pembicaraan telepon ditutup dengan ucapan salam. Sesaat aku terperangah, lalu disadarkan oleh bunyi nada telepon yang terputus. Kutaruh gagang telepon perlahan dan aku beranjak keluar dari bilik wartel, membayar biaya telepon di kasir dan pergi keluar wartel. Dalam lunglai berjalan ingin aku berteriak sekerasnya, "Mengapa?! Mengapaa?! Mengapaaa?!"

Langkah kakiku menemani pikiranku yang gaduh dengan ribuan pertanyaan, berusaha mengingat-ingat kembali akibat pembicaraan dengan Nindi barusan. Apa yang salah? Adakah "puzzle" kenangan yang belum kuletakkan di tempat yang tepat? Apakah? Mengapa? Di mana? Kapan?

Lalu putaran poros pikiranku memunculkan kembali sebuah potongan peristiwa setahun lalu. Dari potongan peristiwa itu barulah aku menyadari maksud tiga kata yang kau ucapkan dahulu, Nia. Tiga kata yang kau ucapkan dengan khidmat sambil mencium punggung tanganku dan menyisakan beberapa tetes air mata di atasnya.

Catatan: Buku Cerpen ala Yong merangkum cerpen ini dan Anda dapat beli di: https://www.tokopedia.com/guepedia/cerpen-ala-andri-yong?n=1
Juga tersedia di Google books: 

Comments

Pos Populer