Waktu Tertunduk Terkalahkan

Logo
Logo
Aku lelah mengejar waktu. Fatamorgana kuberlari ke depan, tapi nyatanya yang kukejar adalah waktu lalu. Menghela napas barang sejenak dan kuberteduh duduk di bawah pohon perenungan sambil menunggu sang pohon menjatuhkan buahnya barang sebiji, itu tak mengapa. Sejuk angin menerpa badan berpeluhku setelah sekian lama mengejar. Sebenarnya, siapa yang mengejar? Aku? Atau waktu? Jika waktu yang benar mengejarku, mengapa dia tak pernah lelah?

Bersandar di batang pohon menikmati sejuk angin, hingga pergi kesadaranku, mengikuti jiwa kemana. Hei!!! Mengapa jiwa yang mengajak kesadaranku pergi membuat diriku sadar bahwa aku bisa berada di masa laluku? Bahkan diajaknya aku ke satu waktu yang aku sulit menjawabnya, apakah waktu di waktu itu tertinggal jauh olehku? Atau waktu di waktu itu lelah sehingga beristirahat sejenak? Mengapa? Semua ini nyata! Mungkin semua orang mengatakan apa yang aku alami adalah mimpi. Tapi ... bukan! Ini bukan mimpi. Kesadaranku sadar bahwa bersama jiwa aku berjalan. Mmm ... bukan ... bukan. Ini lebih cepat dari sekadar berjalan. Sekelebat di sana, lalu sekelebat kemudian di situ dan sekelebat berikutnya, di sini, di sana, di situ. Tapi entah di mana.


Saat kesadaranku kembali dari bepergian bersama jiwa, dua bola mataku menoleh ke kiri, ke kanan, seolah curiga waktu mengintip dendam sebab terkalahkan di waktu itu.

Apa yang kualami barusan bukan mimpi, sebab sesaat sebelum kesadaranku pergi bersama jiwa, sekerlingan mata aku melihat badan berpeluhku bersandar di pohon perenungan. Jika aku mati, mengapa aku kembali? Mati surikah (?).

Ketika berteduh tadi matahari masih terik, saat aku kembali, cahaya matahari sudah me-merah. Tetap aku duduk menanti buah pohon perenungan jatuh, barang sebiji saja. Dan lantas aku tersadar, buahnya sudah jatuh. Ya! Ternyata buahnya sudah jatuh, bahkan sudah kunikmati. Kini tak perlu lagi aku mengejar waktu. Waktu yang aku akan tetap terikat dengannya selama sejumlah detik saja. Setelah itu? Waktu tertunduk terkalahkan. Hanya kapan, di mana ... aku kelu.


Comments

  1. Deuh.....berat...berat. Mainan diksinya beraaat.....#nutup muka pakai wajan ngumpet

    ReplyDelete
    Replies
    1. Itu memang nyata pernah saya alami, Bu. Saya sendiri yang ngalami kejadiannya agak sulit mau jelasin via tulisan. Setelah saya baca ulang post ini, memang nggak ada diksi yang pas sebagai media untuk orang bisa paham yang saya alami. Yang saya alami bukan mati suri

      Delete

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan berikut berkomentarnya kamu.

Pos Populer